Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Archive for 05/06/14

Wisata Alam Pantai Biluhu di Gorontalo




GORONTALO punya beberapa obyek wisata laut yang terkenal, seperti Pulau Saronde, Kampung Laut Suku Bajo di Torosiaje, dan Taman Laut Olele. Ada satu lagi obyek wisata laut yang tak kalah menawan yang ada di Desa Biluhu Timur, Kecamatan Batuda’a Pantai, Kabupaten Gorontalo. Letaknya terpencil, tetapi punya keindahan yang memesona.

Sama halnya dengan obyek wisata laut lainnya di Gorontalo, Biluhu menawarkan pantai dan keindahan dalam laut. Uniknya, pantai yang masih merupakan bagian dari Teluk Tomini ini punya tebing setinggi sekitar 100 meter. Tebing tersebut berdiri sekitar 200 meter dari bibir pantai. Keindahan pantai semakin lengkap dengan ratusan tegakan pohon kelapa yang berdiri di hamparan pasir putih.

Pantai Biluhu boleh dibilang jauh dari keramaian. Dari pusat Kota Gorontalo, pantai ini berjarak sekitar 20 kilometer atau ditempuh dengan mobil sekitar 60 menit. Namun, perjalanan ke Biluhu harus menempuh tanjakan berliku dan sesekali jalanan yang berlubang.

Ada tiga jalur menuju Biluhu. Pertama, menggunakan mobil atau sepeda motor melalui Desa Bongo di Kecamatan Batuda’a Pantai. Pilihan kedua adalah melalui Desa Barakati yang juga masih di Kecamatan Batuda’a Pantai. Kondisi jalan yang melalui Desa Bongo rusak, beberapa titik aspal mengelupas dan berlubang. Pengunjung disarankan melalui jalur di Desa Barakati yang kondisinya lebih baik.

Terakhir, melalui jalur laut menggunakan perahu ketinting atau menggunakan speed boat. Harga sewa perahu ketinting kapasitas 5-7 orang berkisar Rp 200.000-Rp 300.000 dengan lokasi pemberangkatan dari Desa Bongo. Perjalanan menggunakan perahu ketinting membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Jika menggunakan speed boat dengan kapasitas 15 orang, sewanya sekitar Rp 1 juta. Perjalanan menggunakan speed boat hanya 20 menit dari Pelabuhan Tamalate di Kota Gorontalo.

Alam terbuka





Obyek wisata Pantai Biluhu sangat tepat untuk menghabiskan libur akhir pekan. Letaknya yang jauh dari keramaian dan memiliki suasana asri cocok untuk orang-orang yang ingin menenangkan diri dan menghilangkan penat dari pekerjaan rutin sehari-hari. Apalagi, tersedia penginapan dengan harga Rp 150.000 per malam.

Suasana alam terbuka sangat terasa di Pantai Biluhu. Rimbun pepohonan semakin lengkap dengan riuh rendah suara kicauan aneka burung. Sesekali terdengar jeritan monyet jenis Macaca fascicularis yang bergelantungan di pepohonan. Selain itu, langit di Pantai Biluhu turut diramaikan segerombolan burung gagak dan elang laut yang sesekali melintas.

Ombak di Pantai Biluhu yang relatif tenang sangat menggoda siapa pun untuk mandi di lautnya. Saat sore hari, suasana semakin menawan oleh pantulan cahaya matahari yang menyentuh permukaan air laut. Sekadar berbaring dan bermain di pantainya yang berpasir putih sembari membiarkan kaki dijilati ombak pun tak kalah menyenangkan.

Masih ada lagi pesona lain di Pantai Biluhu, yaitu ada di bawah permukaan lautnya. Terumbu karang aneka warna dan bentuk sangat menggoda bagi mereka penggemar snorkeling atau diving (menyelam). Pada bulan-bulan tertentu, di mana gelombang di Teluk Tomini tak terlalu tinggi, snorkeling atau diving di Biluhu sangat mengasyikkan.

”Menyelam di Biluhu bisa menjadi alternatif lokasi selain di Taman Laut Olele yang namanya sudah lebih dulu populer. Terumbu karang di Biluhu masih relatif terjaga dan tak kalah indah dengan yang di Olele,” ujar Debby Mano (30), salah satu karyawan BUMN di Gorontalo, yang sudah empat kali menyelam di Biluhu.


Obyek wisata di pesisir Teluk Tomini ini menawarkan keaslian alam dan pemandangan terumbu karang bawah laut yang menawan bagi wisatawan yang datang.
Kesan serupa diutarakan Ratnawati (26), karyawan swasta di Gorontalo, yang memiliki hobi snorkeling. Dia mengatakan, menikmati pemandangan terumbu karang di Biluhu menyenangkan karena ombaknya relatif tenang. Apalagi, terumbu karang di Biluhu terbilang dangkal sehingga tak perlu menyelam jauh ke bawah laut seperti di Olele.

”Hanya saja, terik matahari di Biluhu cukup menyengat di siang hari. Harus memakai tabir surya agar tak gosong,” kata Ratnawati.

Perbaikan infrastruktur

Meski berpotensi menjadi obyek wisata unggulan di Gorontalo, perlu banyak perbaikan untuk membuat nama Biluhu tenar atau sejajar dengan Taman Laut Olele. Pantai yang masih dikotori sampah pengunjung, seperti selama ini terjadi, bisa mengganggu kenyamanan suasana di sana. Selain itu, kondisi jalan menuju Biluhu juga perlu diperbagus karena saat ini banyak ditemui jalan aspal yang berlubang.

Jika infrastruktur jalan menuju Biluhu diperbagus dan kebersihan dijaga, obyek wisata tersebut bisa menjadi unggulan di Gorontalo menyusul Pulau Saronde, Taman Laut Olele, atau Kampung Laut Suku Bajo di Torosiaje, yang lebih dahulu populer.

Menurut praktisi wisata dari Gorontalo, Toti Lamusu, obyek wisata alam liar tidak harus dipenuhi dengan segala hal yang berbau modern. Adakalanya wisatawan lebih menyukai suasana alam yang asli. Keaslian atau kealamian sebuah obyek wisata justru menjadi daya tarik tersendiri untuk menggaet pengunjung
Tag : ,

Merawat Slamet Merawat Alam Bumi Tercinta


merawat gunung slamet

Gerah menyaksikan Gunung Slamet, gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa, menjadi lautan sampah para pencinta alam ”palsu”, sekelompok pemuda rela bermandi peluh, menyusuri jalur-jalur pendakian demi memunguti berton-ton sampah. Sejumlah strategi digagas agar pendaki jeri mengotori gunung. Demi satu misi, menjaga Slamet tetap lestari...

Semilir angin meniup ilalang di padang sabana, tempat Setiyanto (28) merebahkan badan di atas kantong plastik penuh sampah, pekan lalu, di pos III jalur pendakian Gunung Slamet. Luka bekas goresan masih terlihat di beberapa bagian tangan kanannya.

”Mungkin terkena bekas kaleng kornet atau sarden yang terbuka. Banyak sampah semacam itu yang ditemukan saat sweeping. Padahal, sampah seperti itu tak bisa terurai,” kata Setiyanto.

Dia adalah anggota Forum Silaturahmi Peduli Lingkungan (FSPL) Gunung Slamet, yang terdiri atas gabungan kelompok pencinta alam di wilayah Kabupaten Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap. Sudah dua tahun terakhir belasan anggota forum itu rutin menggelar kegiatan ”Bersih Slamet” sebagai salah satu upaya pelestarian alam gunung setinggi 3.432 meter di atas permukaan laut tersebut.





Aktivitas vulkanik gunung, yang kondisinya saat ini cukup membahayakan sehingga statusnya ditetapkan Waspada (level II), menarik dikunjungi. Masifnya pendakian dengan banyak jalur membuat gunung itu dipenuhi sampah dan mengancam kelestariannya.

Ide bersih-bersih gunung muncul dari keprihatinan sekelompok pemuda menyaksikan rendahnya kesadaran pendaki membawa sampah pribadinya turun. Berdasarkan pengamatan, sepanjang jalur pendakian melalui Pos Pendakian Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, menuju puncak Slamet, berbagai jenis sampah menghampar. Mulai dari bungkus permen, bungkus mi instan, kertas tisu, botol bekas minuman air mineral, serta kaleng sarden dan kornet.

”Sampah di sepanjang jalur pendakian sudah memprihatinkan. Mungkin banyak orang melihat upaya ini seperti menggarami air laut, tetapi kami yakin pendaki yang melihat jerih payah kami ini ke depannya akan berpikir ulang sebelum membuang sampah di gunung,” kata Setiyanto.

Tidak hanya di jalur pendakian, sampah juga dibuang seenaknya sendiri dalam beberapa shelter (tempat berlindung), mulai dari pos I hingga pos VII. Banyak pendaki juga membuang sampah dalam hutan.

Lingkungan menurun

Aji (29), aktivis FSPL Gunung Slamet dari Kabupaten Cilacap, Jateng, mengungkapkan, mencermati data pendakian dan estimasi jumlah logistik yang dibawa setiap pendaki, sampah di sepanjang jalur pendakian akan semakin menumpuk. Satu pendaki sedikitnya membawa logistik berupa 5-8 bungkus mi instan, 3-5 boks susu, 10-15 kemasan kopi, dua kaleng sarden, tiga bungkus tisu basah, tiga rol tisu kering, tiga botol air mineral, dan sebungkus rokok.

Dalam sweeping Maret lalu, belasan anggota FSPL Gunung Slamet dari Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Pemalang, hingga Pekalongan itu setidaknya membawa turun 57 kantong besar penuh berisi sampah. Setiap kantong berisi 15-20 kilogram sampah. Sampah yang dibawa turun tidak kurang dari 1,14 ton.

Mereka menuruni gunung dengan memanggul kantong besar itu. ”Sampah itu dibawa ke tempat pembuangan akhir,” ucap Dodo, Ketua FSPL Gunung Slamet.




Relawan juga terpaksa membongkar tempat sampah dari bambu yang berada di pos I. Menurut Dodo, keberadaan tempat sampah di jalur pendakian sama saja mengizinkan pendaki membuang sampah di tempat itu. Padahal, yang diharapkan, Gunung Slamet bersih dari sampah. Artinya, sampah juga tidak boleh ditimbun karena bisa mencemari tanah.

Kepala Bidang Konservasi dan Pengendalian Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Purbalingga Karwan mengungkapkan, sampah anorganik, seperti plastik, kaleng, bekas botol kaca, dan styrofoam, adalah barang yang sangat sulit diurai tanah. Beberapa akibat yang ditimbulkan adalah tercemarnya tanah, air tanah, dan makhluk bawah tanah.

Racun dari partikel plastik yang masuk ke dalam tanah juga akan membunuh hewan pengurai dalam tanah, seperti cacing. Adapun kantong plastik mengganggu jalur air yang teresap ke dalam tanah. ”Yang pasti, timbunan sampah anorganik akan menurunkan kesuburan tanah karena plastik menghalangi sirkulasi udara di dalam tanah dan ruang gerak hewan pengurai,” ujar dia. Penurunan kualitas lingkungan di kawasan Gunung Slamet itu bukan lagi sekadar ancaman karena saat ini sudah terjadi. Salah satu indikatornya adalah penurunan populasi beberapa flora dan fauna endemik gunung.

Berdasarkan survei Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jateng, Gunung Slamet merupakan habitat endemik bagi fauna, seperti elang jawa, macan tutul, surili jawa, owa jawa, rekretan, kucing hutan, dan kijang. Juga untuk beberapa jenis tanaman, seperti anggrek permata, kantong semar, palem jawa, dan pinang jawa.

Namun, saat ini hampir semua flora dan fauna di atas kian sulit dijumpai di kawasan hutan lindung Slamet seluas 20.000 hektar. Bahkan, terdapat dua satwa yang masuk daftar ”merah” atau terancam punah, yakni owa jawa dan elang jawa.

Berdasarkan pantauan BKSDA selama setahun terakhir, di wilayah lereng selatan Gunung Slamet saat ini hanya tersisa tiga pasang elang jawa. Jumlah itu susut karena pada 2005 masih ada setidaknya lima pasang elang jawa. Menurut Koordinator Pengembangan Program Suaka Elang Gunawan, rusaknya habitat akibat degradasi lingkungan mengganggu perkembangbiakan elang jawa.

Sistem deposit

Pendaki gunung yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang per tahun, lanjut Gunawan, semestinya turut berandil dalam pelestarian Gunung Slamet. Dia berharap komunitas FSPL ikut mempromosikan kampanye pendakian tanpa mengotori gunung.

Hal itu juga disadari relawan sampah Gunung Slamet. Mereka paham, harus ada langkah preventif mencegah pendaki mengotori gunung. Untuk itu, mereka mulai menerapkan aturan semacam deposit untuk penanganan sampah.

”Pendaki yang akan naik ke puncak gunung diminta menjaminkan barang atau uang di Pos Pendakian Bambangan. Jaminan itu bisa diambil kembali dengan menyerahkan sampah yang dihasilkannya sendiri,” kata Dodo.

Namun, rencana itu baru akan dikoordinasikan lagi dengan Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Dinparpora) Purbalingga selaku pengelola jalur pendakian Gunung Slamet. Mereka juga mengagendakan aksi bersih-bersih gunung secara rutin. Kepala Bidang Pariwisata Dinparpora Purbalingga Prayitno mengapresiasi aksi nyata sekelompok pemuda pencinta alam terhadap pelestarian gunung yang aktif di Jateng itu.

”Pengelola juga tidak akan mungkin membawa turun sampah dari para pendaki. Gerakan ini harus dimulai untuk memantik kepedulian pendaki lain,” ujar dia.

Anggota FSPL Gunung Slamet sadar, menjadi pencinta alam harus lebih dari sekadar penikmat alam. Bahkan, dalam benak mereka terpatri bahwa sebagai seorang pendaki gunung sekaligus seorang pencinta alam, mereka rela meninggalkan gunung untuk selama-lamanya jika itu bisa melestarikan kehidupan di dalamnya.
Tag : ,

- Copyright © My Country - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -